Manajemen Proyek Mengatasi Dampak Lingkungan
I. PENGANTAR
Pada
dasarnya keberhasilan sebuah proyek bergantung pada tahapan dan prinsip
kerja dalam manajemen proyek tersebut. Namun tak hanya itu, kelancaran
sebuah proyek ternyata juga dipengaruhi oleh kenyamanan lingkungan
proyek dan dampak lingkungan secara fisik akibat dari adanya proyek
tersebut, baik itu dalam tahap perencanaan hingga eksekusi proyek. Hal
ini juga disebutkan oleh R. Max. Wideman (1990) dalam Managing The
Project Environment, yakni bahwa proses berjalannya suatu proyek tidak
hanya bergantung pada urusan internal (manajemen dan organisasi) saja,
namun juga pada lingkungan eksternal, seperti lingkungan hidup, pengaruh
pengguna, kompetitor, lokasi proyek, iklim, organisasi, sosial, budaya,
dan apapun yang turut mempengaruhi kesuksesan proyek tersebut.
Masalahnya,
terkadang untuk memenuhi semua target dan tujuan proyek agar sesuai
dengan dana, waktu, dan kualitas tertentu, aspek lingkungan sering
dinomorduakan atau bahkan diabaikan. Melalui tulisan ini, saya akan
memaparkan beberapa tulisan yang membahas mengenai aspek lingkungan
secara fisik dan non-fisik. Project Management Body of Knowledge(PMBOK®
Guide) dijadikan acuan dalam tulisan ini karena buku panduan ini yang
berisikan prinsip-prinsip dasar dalam manajemen proyek telah dikenal dan
digunakan secara global.
II. Aspek Lingkungan Fisik dalam Manajemen Proyek
Menurut
saya, salah satu kekurangan buku panduan PMBOK adalah kurang dijelaskan
betapa pentingnya aspek lingkungan secara fisik sebagai dampak dari
adanya sebuah proyek. Disebutkan bahwa infrastruktur, seperti fasilitas
dan sumber daya yang tersedia merupakan salah satu faktor lingkungan
manajemen proyek yang harus diperhatikan, namun tidak dijelaskan lebih
lanjut mengapa dan bagaimana infrastruktur berpengaruh terhadap proyek.
Environmental
Impact Analysis atau Environmental Impact Assesment (EIA) telah
dikembangkan oleh beberapa negara maju sejak tahun 1970. EIA ini sebagai
pedoman dalam mengambil keputusan, yang juga berfungsi sebagai alat
untuk mendukung manajemen proyek agar tetap sesuai lingkup, waktu, dan
budget tertentu. EIA sering mengalami masalah di lapangan karena terlalu
terfokusnya analisis dampak lingkungan secara on-site, sementara dampak
lingkungan secara tidak langsung sering terlewati. Hal ini kemudian
mendapat banyak kritikan karena lingkupnya yang terkesan terlalu sempit
dan dangkal. Lakshmanan dan Johansson (1985) menyebutkan bahwa
‘‘projects may be localised spatially, their consequences are incident
on various activities at many spatial levels (local, regional, national,
and international), and have diverse environmental, economic, social,
and institutional effects’’. Shepherd and Ortolano (1996) juga
menyebutkan hal serupa,‘‘EIA at the project level is insufficient …
because it starts too late, ends too soon, and is too site-specific’’.
Hasil penelitian proyek oleh Manfred Lenzen, dkk, (2002) yang mengambil
studi kasus pembangunan Airport di Sydney, menunjukkan bahwa total
dampak lingkungan yang dihasilkan lebih tinggi daripada dampak on-site
untuk indicator gangguan terhadap tanah, emisi rumah kaca, penggunaan
air, emisi NOx dan SO2, dan pekerjaan.
Dalam
Environmental Aspects of Project Management, Neha Vyas (2008)
menekankan akan pentingnya manajemen lingkungan yang baik dalam proses
penyelesaian sebuah proyek dan mendiskusikan tantangan yang berkaitan
dengan isu-isu lingkungan hidup. Menurutnya, hanya bergantung pada aspek
ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial adalah sebuah
kesalahan paling mendasar yang sering terjadi dalam perencanaan dan
pelaksanaan proyek. Masalahnya, dalam perencanaan proyek, isu-isu
lingkungan seperti penurunan kualitas air akibat polusi industri dan
udara, tercemarnya sumber daya tanah dan air akibat penggunaan pestisida
dan limbah, semakin berkurangnya persediaan material mentah, serta
terjadinya pembalakan hutan seringkali diabaikan, padahal isu-isu
tersebut juga berpengaruh terhadap kesehatan dan keamanan masyarakat,
sumber daya alam, hingga resiko nama baik perusahaan.
Neha
(2008) mengambil contoh negara India, yang ternyata tidak jauh berbeda
dari Indonesia dalam hal pemasalahan lingkungan hidup, yakni salah
satunya adalah masalah polusi yang kemudian menyebabkan timbulnya
penyakit dan mempengaruhi kualitas lingkungan. Banyaknya terjadi
pencemaran lingkungan juga mencerminkan betapa manajemen lingkungan
hanya dipandang secara sempit dalam proyek. Lingkungan hanya dipandang
dari aspek ekonomi, yang mana yang dipedulikan hanyalah keuntungan apa
yang dapat diperoleh dari lingkungan tanpa memperdulikan dampak apa yang
dihasilkan dari kegiatan tersebut, serta lebih mempertanyakan bagaimana
caranya agar dapat mengekspolitasi lingkungan tersebut secara maksimal.
AMDAL
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan di Indonesia yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan, yang merupakan komponen
studi kelayakan dari rencana kegiatan, sehingga bagi proyek tertentu
tahap implementasi belum dapat dimulai sebelum AMDAL diselesaikan dan
disetujui oleh pihak yang bertanggung jawab. (PP No. 27 tahun 1999 dan
PP No. 29 tahun 1986 pasal 6 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan).
AMDAL
dan UKL/UPL sepatutnya diisukan pada saat perencanaan proyek, namun
yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Seringkali proyek-proyek
pembangunan dihentikan, atau bahkan bangunan yang sudah jadi dirobohkan
entah itu karena perizinan AMDAL dari pemerintah yang tidak ketat atau
adanya pihak-pihak yang saling bekerjasama. Pada akhirnya, jika
mengalami masalah, pihak proyek tersebut sendiri yang harus bertanggung
jawab, seperti harus mengganti rugi kerugian yang dialami oleh
masyarakat atau jika tidak, akan mendapat protes dari rakyat dan
mendapat teguran dari pemerintah.
Selain
masalah perizinan yang tidak jelas, AMDAL sendiri masih memiliki
beberapa kelemahan lainnya, seperti partisipasi masyarakat yang belum
optimal, metode-metode penyusunan AMDAL yang belum memperhatikan
implikasi terhadap sosial-budaya masyarakat sekitar, serta penerapan
AMDAL yang belum terjamin akan dilaksanakan. Menurut saya, selain
kurangnya kepedulian pelaksana proyek terhadap lingkungan masyarakat di
sekitarnya karena tidak ada hukum yang benar-benar mengikat serta adanya
kerjasama win-win dengan orang pemerintahan, mungkin juga para
pelaksana proyek di Indonesia tidak terlalu mempedulikan AMDAL karena
prosedurnya yang membutuhkan waktu sekitar 150 hari lebih lama, padahal
aspek waktu sangatlah penting dalam pelaksanaan sebuah proyek.
Sangat
disayangkan bahwa ternyata perilaku sosial dan politik di Indonesia
ternyata juga sangat berpengaruh terhadap penerapan AMDAL di Indonesia.
AMDAL pun hanya dilihat sebagai sebuah alat untuk mendapatkan izin dalam
pembangunan sehingga lebih dilihat secara top-down, sementara di
negara-negara maju, AMDAL benar-benar dibuat berdasarkan atas kesadaran
akan kebutuhan masyarakat dan demi kelestarian lingkungan sehingga
bersifat bottom-up. Permasalahan yang dikontraskan pun menjadi terlihat
perbedaannya, yakni jika di luar negeri masalah EIA yang sering muncul
adalah tidak adanya analisis dampak lingkungan secaraindirect,
permasalahan AMDAL dalam negeri masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Setelah saya menelaah PMBOK, ternyata masalah lingkungan hidup tidak
terlalu banyak disinggung, sementara peraturan-peraturan mengenai AMDAL
sudah dikeluarkan dengan jelas oleh pemerintah, namun pada
pelaksanaannya, prosedur pelaksanaan AMDAL di Indonesia masih sering
terlewatkan sehingga banyak ditemukan proyek-proyek yang sudah selesai
yang masih belum memiliki AMDAL.
Padahal,
pada kenyataannya, manajemen lingkungan dapat mengoptimalisasikan
penggunaan sumber daya, seperti melalui reuse, recycling, dan manajemen
material yang kemudian berdampak pada berkurangnya biaya pelaksanaan
proyek. Di masa kini pun mulai bermunculan perusahaan-perusahaan yang
melabelkan proyek-proyeknya sebagai proyek yang ‘green’ dan
‘eco-friendly’ sehingga mendapat izin beroperasi secara lebih mudah dan
mendapat dukungan dari masyarakat. Contohnya saja, CBD Green Office Park
BSD, Tangerang yang menjual konsep properti yang ramah lingkungan.
Arsitektur hijau dipraktikkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian
energi, air, dan bahan-bahan, serta mereduksi dampak bangunan terhadap
kesehatan melalui tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan.
Selain bernilai jual lebih tinggi, proyek yang pro-lingkungan ini juga
lebih mudah dalam pelaksanaan proyeknya.
Proyek
renovasi/pembangunan Hotel Grand Indonesia merupakan salah satu contoh
proyek yang memiliki AMDAL, namun tidak melaksanakannya dengan baik.
Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1, usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup termasuk di dalamnya, yakni proses dan kegiatan yang hasilnya
dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan
sosial dan budaya. Dalam hal ini, pihak Hotel Grand Indonesia tidak
hanya bermasalah karena merugikan lingkungan dengan suara bising, debu
pembangunan dan bencana banjir, namun juga karena tidak adanya itikad
yang baik dari pihak pengembang untuk mengatasinya sehingga tidak
terjalin kerjasama yang baik antara pihak pembangun dengan masyarakat.
Hal ini tidak hanya berdampak pada terhambatnya proses pembangunan,
namun juga berdampak terhadap nama baik perusahaan.
III. Aspek Lingkungan Non-fisik dalam Manajemen Proyek
Berdasarkan
buku PMBOK, selain dampak proyek terhadap lingkungan secara fisik,
faktor-faktor lingkungan manajemen proyek yang harus diperhatikan
mencakup:
• Budaya, struktur, dan proses organisasi
• Standar dari pemerintah atau industri (cth: standar produk, standar kualitas, standar pekerja, pengaturan kode, dsb.)
•
Sumber daya manusia yang tersedia (cth: keterampilan, disiplin, serta
pengetahuan tentang desain, pengembangan, hukum, kontrak dan jual-beli)
•
Administrasi pekerja (cth: guidelines staffing dan penyerapan tenaga
kerja, review hasil kerja pegawai dan rekaman pelatihan/training,
pengaturan waktu lembur, dsb.)
• Kondisi pasar
• Toleransi resiko oleh stakeholders• Politik
• Database komersial (cth: data perkiraan biaya standar, informasi studi resiko industri, dan database resiko)
•
Sistem Informasi Manajemen Proyek (cth: software penjadwalan, sistem
manajemen susunan pekerjaan, system distribusi dan koleksi informasi).
Sayangnya,
PMBOK tidak membahas lebih dalam mengenai lingkungan manajemen proyek
yang ideal atau dampak apa saja yang dihasilkan dari ketidaknyamanan
lingkungan terhadap proyek, serta lebih fokus pada aktivitas proyek yang
direncanakan secara matang.
Sementara
itu, dalam Collyer dan Warren (2008) menyebutkan bahwa lingkungan
proyek di masa kini selalu berubah-ubah, sehingga pendekatannya berbeda
dengan pendekatan dalam buku PMBOK. Lingkungan yang bersifat dinamis
membutuhkan manajemen yang dinamis pula, baik dari segi kepemimpinan,
budaya kerja, dan kontrol manajemen. Menurut saya, lingkungan proyek ini
sangat cocok untuk menggambarkan lingkungan proyek di negara-negara
berkembang di mana resiko akibat dari ketidakstabilan ekonomi dan sosial
cukup besar, seperti di Indonesia.
Dalam
Work Environment Factors and Job Performance: The Construction Project
Manager’s Perspective, Arman A Razak mencoba mencaritahu hubungan antara
faktor lingkungan kerja dengan kinerja proyek konstruksi di Malaysia,
serta mengurutkan faktor-faktor lingkungan kerja ini berdasarkan
kepentingannya dalam kesuksesan sebuah proyek. Beliau menemukan bahwa
durasi pengerjaan proyek merupakan variable terpenting dalam sebuah
proyek, disusul dengan lingkungan hidup, sumber daya dan material, dan
hubungan antar-anggota tim proyek. Terlihat bahwa aspek sosial cukup
penting dalam keberhasilan proyek di Malaysia, begitu pula di Indonesia.
Lingkungan
sosial di Indonesia dan Malaysia berbasis pada hubungan saling
ketergantungan antar-anggota dalam satu kelompok, sementara lingkungan
sosial di negara Barat lebih menekankan pada kemampuan individual untuk
menentukan apa yang harus mereka lakukan sendiri. Lingkungan politik dan
ekonomi yang tidak pasti sering memberikan rasa tidak aman pada para
pengelola proyek sehingga menjadikan mereka orang-orang yang berusaha
menghindari resiko.
Pada
akhirnya, manajemen sebuah proyek perlu memperhatikan dampaknya
terhadap lingkungan serta dampak lingkungan terhadap proyek tersebut,
baik itu secara fisik maupun non-fisik agar tercapai pelaksanaan proyek
yang sesuai dengan lingkup, waktu, dan tujuan yang diinginkan.
Berikut beberapa analisis dari Lingkungan Manajemen Proyek
1) Pemindaian (Scanning)
Pemindaian
merupakan studi terhadap semua segmen dalam lingkungan umum. Melalui
pemindaian, perusahaan mengidentifikasi tanda-tanda awal dari perubahan
potensi dalam lingkungan umum dan mendeteksi perubahan-perubahan yang
sedang terjadi. Ketika pemindaian, seringkali perusahaan menghadapi data
dan informasi yang ambigu, tidak lengkap, dan tidak ada kaitannya.
Pemindaian lingkungan merupakan hal penting dan menentukan bagi
perusahaan-perusahaan yang bersaing dalam lingkungan yang tidak stabil.
Selain itu, aktivitas pemindaian harus disatukan dengan konteks
organisasi. Suatu sistem pemindaian dirancang untuk lingkungan yang
tidak stabil tidak akan cocok bagi perusahaan yang berada dalam
lingkungan stabil.
2) Pengawasan (Monitoring)
Ketika
analis pengawasan (monitoring) mengamati perubahan-perubahan lingkungan
untuk melihat apakah suatu trend yang penting sudah berkembang di
antara hal-hal yang diamati dalam pemindaian. Kritikal bagi pengawasan
yang berhasil adalah kemampuan untuk mendeteksi makna dalam
peristiwa-peristiwa lingkungan yang berbeda.
3) Peramalan (Forecasting)
Pemindaian
dan pengawasan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan
umum pada suatu waktu. Pada peramalan (forecasting), analis
mengembangkan proyek-proyek yang layak tentang apa yang mungkin terjadi,
dan seberapa cepat perubahan-perubahan dan trend-trend itu dideteksi
melalui pemindaian dan pengawasan.
4) Penilaian (Assesing)
Tujuan
penilaian (assesing) adalah untuk menentukan waktu dan signifikansi
efek-efek dari perubahan-perubahan dan trend-trend lingkungan terhadap
manajemen strategis suatu perusahaan. Melalui pemindaian, pengawasan,
dan peramalan, serorang analis dapat memahami lingkungan umum. Selangkah
lebih maju, tujuan penilaian adalah untuk menspesifikasi implikasi
pemahaman tersebut pada organisasi. Tanpa penilaian, perusahaan
dibiarkan dengan data-data yang menarik, tapi tidak diketahui relenvansi
kompetitifnya.
No SPAM
EmoticonEmoticon