Thursday, November 16, 2017

Manajemen Proyek Lingkungan

Manajemen Proyek Mengatasi Dampak Lingkungan

I.  PENGANTAR
Pada dasarnya keberhasilan sebuah proyek bergantung pada tahapan dan prinsip kerja dalam manajemen proyek tersebut. Namun tak hanya itu, kelancaran sebuah proyek ternyata juga dipengaruhi oleh kenyamanan lingkungan proyek dan dampak lingkungan secara fisik akibat dari adanya proyek tersebut, baik itu dalam tahap perencanaan hingga eksekusi proyek. Hal ini juga disebutkan oleh R. Max. Wideman (1990) dalam Managing The Project Environment, yakni bahwa proses berjalannya suatu proyek tidak hanya bergantung pada urusan internal (manajemen dan organisasi) saja, namun juga pada lingkungan eksternal, seperti lingkungan hidup, pengaruh pengguna, kompetitor, lokasi proyek, iklim, organisasi, sosial, budaya, dan apapun yang turut mempengaruhi kesuksesan proyek tersebut.



Masalahnya, terkadang untuk memenuhi semua target dan tujuan proyek agar sesuai dengan dana, waktu, dan kualitas tertentu, aspek lingkungan sering dinomorduakan atau bahkan diabaikan. Melalui tulisan ini, saya akan memaparkan beberapa tulisan yang membahas mengenai aspek lingkungan secara fisik dan non-fisik. Project Management Body of Knowledge(PMBOK® Guide) dijadikan acuan dalam tulisan ini karena buku panduan ini yang berisikan prinsip-prinsip dasar dalam manajemen proyek telah dikenal dan digunakan secara global.

II.  Aspek Lingkungan Fisik dalam Manajemen Proyek
Menurut saya, salah satu kekurangan buku panduan PMBOK adalah kurang dijelaskan betapa pentingnya aspek lingkungan secara fisik sebagai dampak dari adanya sebuah proyek. Disebutkan bahwa infrastruktur, seperti fasilitas dan sumber daya yang tersedia merupakan salah satu faktor lingkungan manajemen proyek yang harus diperhatikan, namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengapa dan bagaimana infrastruktur berpengaruh terhadap proyek.


Environmental Impact Analysis atau Environmental Impact Assesment (EIA) telah dikembangkan oleh beberapa negara maju sejak tahun 1970. EIA ini sebagai pedoman dalam mengambil keputusan, yang juga berfungsi sebagai alat untuk mendukung manajemen proyek agar tetap sesuai lingkup, waktu, dan budget tertentu. EIA sering mengalami masalah di lapangan karena terlalu terfokusnya analisis dampak lingkungan secara on-site, sementara dampak lingkungan secara tidak langsung sering terlewati. Hal ini kemudian mendapat banyak kritikan karena lingkupnya yang terkesan terlalu sempit dan dangkal. Lakshmanan dan Johansson (1985) menyebutkan bahwa ‘‘projects may be localised spatially, their consequences are incident on various activities at many spatial levels (local, regional, national, and international), and have diverse environmental, economic, social, and institutional effects’’.  Shepherd and Ortolano (1996) juga menyebutkan hal serupa,‘‘EIA at the project level is insufficient … because it starts too late, ends too soon, and is too site-specific’’. Hasil penelitian proyek oleh Manfred Lenzen, dkk, (2002) yang mengambil studi kasus pembangunan Airport di Sydney, menunjukkan bahwa total dampak lingkungan yang dihasilkan lebih tinggi daripada dampak on-site untuk indicator gangguan terhadap tanah, emisi rumah kaca, penggunaan air, emisi NOx dan SO2, dan pekerjaan.


Dalam Environmental Aspects of Project Management, Neha Vyas (2008) menekankan akan pentingnya manajemen lingkungan yang baik dalam proses penyelesaian sebuah proyek dan mendiskusikan tantangan yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan hidup. Menurutnya, hanya bergantung pada aspek ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial adalah sebuah kesalahan paling mendasar yang sering terjadi dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Masalahnya, dalam perencanaan proyek, isu-isu lingkungan seperti penurunan kualitas air akibat polusi industri dan udara, tercemarnya sumber daya tanah dan air akibat penggunaan pestisida dan limbah, semakin berkurangnya persediaan material mentah, serta terjadinya pembalakan hutan seringkali diabaikan, padahal isu-isu tersebut juga berpengaruh terhadap kesehatan dan keamanan masyarakat, sumber daya alam, hingga resiko nama baik perusahaan.

Neha (2008) mengambil contoh negara India, yang ternyata tidak jauh berbeda dari Indonesia dalam hal pemasalahan lingkungan hidup, yakni salah satunya adalah masalah polusi yang kemudian menyebabkan timbulnya penyakit dan mempengaruhi kualitas lingkungan. Banyaknya terjadi pencemaran lingkungan juga mencerminkan betapa manajemen lingkungan hanya dipandang secara sempit dalam proyek. Lingkungan hanya dipandang dari aspek ekonomi, yang mana yang dipedulikan hanyalah keuntungan apa yang dapat diperoleh dari lingkungan tanpa memperdulikan dampak apa yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, serta lebih mempertanyakan bagaimana caranya agar dapat mengekspolitasi lingkungan tersebut secara maksimal.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan di Indonesia yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan, yang merupakan komponen studi kelayakan dari rencana kegiatan, sehingga bagi proyek tertentu tahap implementasi belum dapat dimulai sebelum AMDAL diselesaikan dan disetujui oleh pihak yang bertanggung jawab. (PP No. 27 tahun 1999 dan PP No. 29 tahun 1986 pasal 6 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
AMDAL dan UKL/UPL sepatutnya diisukan pada saat perencanaan proyek, namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Seringkali proyek-proyek pembangunan dihentikan, atau bahkan bangunan yang sudah jadi dirobohkan entah itu karena perizinan AMDAL dari pemerintah yang tidak ketat atau adanya pihak-pihak yang saling bekerjasama. Pada akhirnya, jika mengalami masalah, pihak proyek tersebut sendiri yang harus bertanggung jawab, seperti harus mengganti rugi kerugian yang dialami oleh masyarakat atau jika tidak, akan mendapat protes dari rakyat dan mendapat teguran dari pemerintah.

Selain masalah perizinan yang tidak jelas, AMDAL sendiri masih memiliki beberapa kelemahan lainnya, seperti partisipasi masyarakat yang belum optimal, metode-metode penyusunan AMDAL yang belum memperhatikan implikasi terhadap sosial-budaya masyarakat sekitar, serta penerapan AMDAL yang belum terjamin akan dilaksanakan. Menurut saya, selain kurangnya kepedulian pelaksana proyek terhadap lingkungan masyarakat di sekitarnya karena tidak ada hukum yang benar-benar mengikat serta adanya kerjasama win-win dengan orang pemerintahan, mungkin juga para pelaksana proyek di Indonesia tidak terlalu mempedulikan AMDAL karena prosedurnya yang membutuhkan waktu sekitar 150 hari lebih lama, padahal aspek waktu sangatlah penting dalam pelaksanaan sebuah proyek.

Sangat disayangkan bahwa ternyata perilaku sosial dan politik di Indonesia ternyata juga sangat berpengaruh terhadap penerapan AMDAL di Indonesia. AMDAL pun hanya dilihat sebagai sebuah alat untuk mendapatkan izin dalam pembangunan sehingga lebih dilihat secara top-down, sementara di negara-negara maju, AMDAL benar-benar dibuat berdasarkan atas kesadaran akan kebutuhan masyarakat dan demi kelestarian lingkungan sehingga bersifat bottom-up. Permasalahan yang dikontraskan pun menjadi terlihat perbedaannya, yakni jika di luar negeri masalah EIA yang sering muncul adalah tidak adanya analisis dampak lingkungan secaraindirect, permasalahan AMDAL dalam negeri masih sangat jauh dari yang diharapkan. Setelah saya menelaah PMBOK, ternyata masalah lingkungan hidup tidak terlalu banyak disinggung, sementara peraturan-peraturan mengenai AMDAL sudah dikeluarkan dengan jelas oleh pemerintah, namun pada pelaksanaannya, prosedur pelaksanaan AMDAL di Indonesia masih sering terlewatkan sehingga banyak ditemukan proyek-proyek yang sudah selesai yang masih belum memiliki AMDAL.


Padahal, pada kenyataannya, manajemen lingkungan dapat mengoptimalisasikan penggunaan sumber daya, seperti melalui reuse, recycling, dan manajemen material yang kemudian berdampak pada berkurangnya biaya pelaksanaan proyek. Di masa kini pun mulai bermunculan perusahaan-perusahaan  yang melabelkan proyek-proyeknya sebagai proyek yang ‘green’ dan ‘eco-friendly’ sehingga mendapat izin beroperasi secara lebih mudah dan mendapat dukungan dari masyarakat. Contohnya saja, CBD Green Office Park BSD, Tangerang yang menjual konsep properti yang ramah lingkungan. Arsitektur hijau dipraktikkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air, dan bahan-bahan, serta mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan melalui tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan. Selain bernilai jual lebih tinggi, proyek yang pro-lingkungan ini juga lebih mudah dalam pelaksanaan proyeknya.

Proyek renovasi/pembangunan Hotel Grand Indonesia merupakan salah satu contoh proyek yang memiliki AMDAL, namun tidak melaksanakannya dengan baik.  Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1, usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup termasuk di dalamnya, yakni proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya. Dalam hal ini, pihak Hotel Grand Indonesia tidak hanya bermasalah karena merugikan lingkungan dengan suara bising, debu pembangunan dan bencana banjir, namun juga karena tidak adanya itikad yang baik dari pihak pengembang untuk  mengatasinya sehingga tidak terjalin kerjasama yang baik antara pihak pembangun dengan masyarakat. Hal ini tidak hanya berdampak pada terhambatnya proses pembangunan, namun juga berdampak terhadap nama baik perusahaan.

III.  Aspek Lingkungan Non-fisik dalam Manajemen Proyek
Berdasarkan buku PMBOK, selain dampak proyek terhadap lingkungan secara fisik, faktor-faktor lingkungan manajemen proyek yang harus diperhatikan mencakup:
• Budaya, struktur, dan proses organisasi
• Standar dari pemerintah atau industri (cth: standar produk, standar kualitas, standar pekerja, pengaturan kode, dsb.)
• Sumber daya manusia yang tersedia (cth: keterampilan, disiplin, serta pengetahuan tentang desain, pengembangan, hukum, kontrak dan jual-beli)
• Administrasi pekerja (cth: guidelines staffing dan penyerapan tenaga kerja, review hasil kerja pegawai dan rekaman pelatihan/training, pengaturan waktu lembur, dsb.)
• Kondisi pasar
• Toleransi resiko oleh stakeholders• Politik
• Database komersial (cth: data perkiraan biaya standar, informasi studi resiko industri, dan database resiko)
• Sistem Informasi Manajemen Proyek (cth: software penjadwalan, sistem manajemen susunan pekerjaan, system distribusi dan koleksi informasi).

Sayangnya, PMBOK tidak membahas lebih dalam mengenai lingkungan manajemen proyek yang ideal atau dampak apa saja yang dihasilkan dari ketidaknyamanan lingkungan terhadap proyek, serta lebih fokus pada aktivitas proyek yang direncanakan secara matang.

Sementara itu, dalam Collyer dan Warren (2008) menyebutkan bahwa lingkungan proyek di masa kini selalu berubah-ubah, sehingga pendekatannya berbeda dengan pendekatan dalam buku PMBOK. Lingkungan yang bersifat dinamis membutuhkan manajemen yang dinamis pula, baik dari segi kepemimpinan, budaya kerja, dan kontrol manajemen. Menurut saya, lingkungan proyek ini sangat cocok untuk menggambarkan lingkungan proyek di negara-negara berkembang di mana resiko akibat dari ketidakstabilan ekonomi dan sosial cukup besar, seperti di Indonesia.

Dalam Work Environment Factors and Job Performance: The Construction Project Manager’s Perspective, Arman A Razak mencoba mencaritahu hubungan antara faktor lingkungan kerja dengan kinerja proyek konstruksi di Malaysia, serta mengurutkan faktor-faktor lingkungan kerja ini berdasarkan kepentingannya dalam kesuksesan sebuah proyek. Beliau menemukan bahwa durasi pengerjaan proyek merupakan variable terpenting dalam sebuah proyek, disusul dengan lingkungan hidup, sumber daya dan material, dan hubungan antar-anggota tim proyek. Terlihat bahwa aspek sosial cukup penting dalam keberhasilan proyek di Malaysia, begitu pula di Indonesia.
Lingkungan sosial di Indonesia dan Malaysia berbasis pada hubungan saling ketergantungan antar-anggota dalam satu kelompok, sementara lingkungan sosial di negara Barat lebih menekankan pada kemampuan individual untuk menentukan apa yang harus mereka lakukan sendiri. Lingkungan politik dan ekonomi yang tidak pasti sering memberikan rasa tidak aman pada para pengelola proyek sehingga menjadikan mereka orang-orang yang berusaha menghindari resiko.

Pada akhirnya, manajemen sebuah proyek perlu memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan serta dampak lingkungan terhadap proyek tersebut, baik itu secara fisik maupun non-fisik agar tercapai pelaksanaan proyek yang sesuai dengan lingkup, waktu, dan tujuan yang diinginkan.

Berikut beberapa analisis dari Lingkungan Manajemen Proyek

1)      Pemindaian (Scanning)
Pemindaian merupakan studi terhadap semua segmen dalam lingkungan umum. Melalui pemindaian, perusahaan mengidentifikasi tanda-tanda awal dari perubahan potensi dalam lingkungan umum dan mendeteksi perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Ketika pemindaian, seringkali perusahaan menghadapi data dan informasi yang ambigu, tidak lengkap, dan tidak ada kaitannya. Pemindaian lingkungan merupakan hal penting dan menentukan bagi perusahaan-perusahaan yang bersaing dalam lingkungan yang tidak stabil. Selain itu, aktivitas pemindaian harus disatukan dengan konteks organisasi. Suatu sistem pemindaian dirancang untuk lingkungan yang tidak stabil tidak akan cocok bagi perusahaan yang berada dalam lingkungan stabil.
2)      Pengawasan (Monitoring)
Ketika analis pengawasan (monitoring) mengamati perubahan-perubahan lingkungan untuk melihat apakah suatu trend yang penting sudah berkembang di antara hal-hal yang diamati dalam pemindaian. Kritikal bagi pengawasan yang berhasil adalah kemampuan untuk mendeteksi makna dalam peristiwa-peristiwa lingkungan yang berbeda.
3)      Peramalan (Forecasting)
Pemindaian dan pengawasan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan umum pada suatu waktu. Pada peramalan (forecasting), analis mengembangkan proyek-proyek yang layak tentang apa yang mungkin terjadi, dan seberapa cepat perubahan-perubahan dan trend-trend itu dideteksi melalui pemindaian dan pengawasan.
4)      Penilaian (Assesing)
Tujuan penilaian (assesing) adalah untuk menentukan waktu dan signifikansi efek-efek dari perubahan-perubahan dan trend-trend lingkungan terhadap manajemen strategis suatu perusahaan. Melalui pemindaian,  pengawasan, dan peramalan, serorang analis dapat memahami lingkungan umum. Selangkah lebih maju, tujuan penilaian adalah untuk menspesifikasi implikasi pemahaman tersebut pada organisasi. Tanpa penilaian, perusahaan dibiarkan dengan data-data yang menarik, tapi tidak diketahui relenvansi kompetitifnya.


This Is The Oldest Page

No SPAM
EmoticonEmoticon